Apa Pentingnya Ecolabelling?
Praktik menandai produk
dengan label khusus sehingga konsumen tahu bahwa produk mereka sesuai dengan
standar lingkungan yang diakui. Tujuan dari inisiatif
ekolabel adalah untuk mempromosikan produk yang dikelola secara berkelanjutan
dan menyoroti produk mereka kepada konsumen. Klaim produk yang terkait dengan ekolabel bertujuan untuk
meningkatkan permintaan publik terhadap produk yang disukai lingkungan. Ekolabel umumnya mengandalkan penilaian siklus hidup untuk
menentukan dampak lingkungan dari produk 'dari pembuatan sampai habis pakai'. Biasanya klaim yang muncul pada suatu
produk harus didahului dengan latihan lacak balak yang mendokumentasikan bahwa
produk tersebut berasal dari, misalnya, perindustrian yang bersertifikat
'dikelola secara berkelanjutan’.
Sebelum sertifikasi, serangkaian standar atau kriteria
'keberlanjutan' yang menjadi tujuan evaluasi harus
dikembangkan. Penerimaan dan kredibilitas standar terkait erat dengan
bagaimana standar dikembangkan, standar itu sendiri, dan proses akreditasi atau
sertifikasi yang dengannya organisasi dievaluasi terhadap standar.
Program Ecolabelling
biasanya termasuk dalam salah satu kategori berikut:
1.
Skema pelabelan pihak
pertama
Ini ditetapkan oleh masing-masing perusahaan berdasarkan
standar produk mereka sendiri. Standar tersebut mungkin didasarkan pada
kriteria yang terkait dengan masalah lingkungan tertentu yang diketahui oleh
konsumen melalui media atau iklan. Bentuk ekolabel ini juga dapat disebut
sebagai 'deklarasi sendiri'.
2. Skema pelabelan pihak kedua
Ini ditetapkan oleh asosiasi industri untuk
produk anggota mereka. Para anggota menjelaskan kriteria sertifikasi,
kadang-kadang dengan memanfaatkan keahlian eksternal dari akademisi dan
organisasi lingkungan. Verifikasi kepatuhan dicapai melalui prosedur
sertifikasi internal dalam industri, atau pekerjaan perusahaan sertifikasi
eksternal.
3. Skema pelabelan pihak ketiga
Ini biasanya ditetapkan oleh penggagas
(publik atau swasta) independen dari produsen, distributor dan penjual produk
berlabel. Produk yang dipasok oleh organisasi atau sumber daya yang
disertifikasi kemudian dilabeli dengan informasi kepada konsumen bahwa produk
itu diproduksi dengan cara yang 'ramah lingkungan'. Label (segel) biasanya
dilisensikan kepada produsen dan dapat muncul pada atau menyertai produk yang
berasal dari produsen bersertifikat. Produsen biasanya diharapkan untuk
melacak 'lacak balak' produk mereka untuk memastikan bahwa produk yang bersertifikat
sebenarnya adalah produk yang layak diberi label demikian.
Dalam
beberapa kasus pemrakarsa mengakreditasi organisasi lain untuk menjadi pemberi
sertifikat. Badan akreditasi
memberikan beberapa tingkat jaminan bahwa pemberi sertifikat telah dilatih oleh
program pelatihan terakreditasi dan memenuhi syarat untuk melakukan evaluasi
terhadap serangkaian kriteria tertentu dalam bidang tertentu. Sementara kriteria dapat ditetapkan
melalui proses negosiasi di antara berbagai pihak yang berkepentingan, mereka
sering dimotivasi oleh tujuan penggagas skema tersebut. Organisasi lingkungan dan konsumen umumnya lebih menyukai
skema ekolabel dari jenis ini karena kepercayaan yang tinggi bahwa kepentingan
komersial swasta tidak akan membahayakan kriteria yang diterapkan pada skema
tersebut dan kepatuhan yang ketat terhadap mereka berdasarkan pada prosedur
sertifikasi yang dapat diverifikasi dan tidak memihak.
Label
lingkungan dapat bersifat wajib atau sukarela. Label wajib adalah dukungan
pemerintah dan dapat bertindak sebagai pembatasan perdagangan untuk produsen
asing (yaitu, impor dapat ditolak jika mereka tidak mematuhi). Impor produk
yang tidak mematuhi label sukarela tidak dibatasi. Dalam hal label
sukarela, tergantung pada pabrikan untuk memutuskan apakah akan mengajukan
sertifikasi produk atau tidak, dan pilihan konsumen apakah akan membeli (atau
mengimpor) produk ekolabel. Program ekolabel sukarela dapat didanai dan
diawasi oleh sektor swasta. Namun, beberapa disponsori oleh pemerintah.
Organisasi Internasional untuk Standardisasi
(ISO) telah mengidentifikasi tiga jenis label sukarela yang luas, dengan
pemasangan ekolabel di bawah penunjukan Tipe 1 terkuat.
TYPE I:
program pihak ketiga sukarela, berdasarkan
banyak kriteria, yang memberikan lisensi yang mengesahkan penggunaan label
lingkungan pada produk yang menunjukkan keseluruhan preferensi lingkungan dari
suatu produk dalam kategori produk tertentu berdasarkan pertimbangan siklus
hidup.
TYPE II:
klaim deklarasi mandiri lingkungan yang
informatif
TYPE III:
program sukarela yang menyediakan data lingkungan terukur
dari suatu produk, di bawah kategori parameter yang ditetapkan sebelumnya oleh
pihak ketiga yang berkualifikasi dan berdasarkan penilaian siklus hidup, dan
diverifikasi oleh pihak ketiga tersebut atau pihak ketiga lainnya yang
berkualifikasi.
Ecolabelling Kehutanan
Liberalisasi
perdagangan (pembukaan arus perdagangan internasional seluas-luasnya) memang
telah sangat membuka peluang ekspor bagi tiap negara tapi juga menimbulkan
dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan secara global. Kita dapat
mengambil contoh yang paling sederhana yaitu ekspor kayu mentah di Indonesia
yang pada beberapa periode ke belakang diketahui cenderung eksploitatif hingga
melampaui daya dukung lingkungan ditambah dengan proses produksinya yang tidak
memperhatikan lingkungan.
Agar produsen Indonesia
dapat mengekspor produknya ke negara-negara yang menerapkan standar
ecolabelling tentu produsen tersebut harus terlebih dahulu memperoleh
sertifikat ecolabelling. Terhadap pertanyaan ini, kami menjawab bahwa telah
terdapat Lembaga Ekolabel Indonesia ("LEI") sebagai organisasi
non-profit berbasis konstituen yang mengembangkan sistem sertifikasi hutan yang
mempromosikan misi untuk pengelolaan sumber daya hutan yang adil dan
berkelanjutan di Indonesia
Di
Indonesia, praktik ecolabelling memang lebih terfokus pada sektor kehutanan
mengingat hasil hutan adalah produk ekspor terbesar Indonesia yang memiliki
irisan antara kelestarian lingkungan dan kepentingan bisnis, namun tentunya
tidak mengesampingkan sektor industri lainnya seperti perikanan, pertanian, dan
lainnya. Dalam mengeluarkan sertifikasi ecolabelling, LEI menggunakan standar
lokal namun telah diakui secara internasional seperti Perancis, Jerman,
Belanda, Belgia, dan Amerika Serikat yang merupakan negara-negara potensial
pasar kayu Indonesia. Dengan adanya LEI, produsen Indonesia tidak perlu
khawatir atau merasa terhambat untuk masuk ke pasar negara lain, khususnya
negara-negara yang meminta sertifikat ecolabelling.
Asumsi kedua kami terhadap
pertanyaan Saudara terkait dengan peraturan yang secara spesifik mengatur
mengenai Ecolabelling. Dalam sektor kehutanan, Indonesia memiliki Keputusan
Menteri Kehutanan No. 252/Kpts-II/1993 tentang Kriteria dan Indikator
Pengelolaan Hutan Produksi Alam Indonesia Secara Lestari yang telah
diubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 576/Kpts-II/1993,
serta Keputusan Menteri Kehutanan No. 4795/Kpts-II/2002 tentang
Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari pada Unit
Pengelolaan. Kedua Keputusan Menteri Kehutanan ini memang tidak mengatur
secara spesifik mengenai ecolabelling melainkan mengenai pengelolaan,
pembangunan, dan konservasi hutan disesuaikan dengan ketetapan yang dihasilkan
melalui forum-forum internasional. Namun, perlu diingat bahwa konsep
ecolabelling yang telah kami sebutkan sebelumnya tidak terbatas pada hasil
produk yang ramah lingkungan, tapi juga proses pengadaan produk dan
pengelolaannya. Sehingga ecolabelling dalam produk kehutanan juga mensyaratkan
pengelolaan hutan yang adil dan lestari, proses pengadaan kayu yang ramah
lingkungan, dan lain-lain, yang telah diatur dalam kedua kemenhut yang tersebut
sebelumnya.
Ada atau tidaknya payung
hukum yang mengatur mekanisme ecolabelling secara spesifik di
Indonesia dapat dikatakan tidak memiliki pengaruh terhadap arus ekspor karena
produsen (eksportir) dari Indonesia harus mengikuti standar atau regulasi
negara importir (penerima produk ekspor Indonesia) apabila ingin produknya
dapat masuk ke dalam pasar mereka. Justru regulasi dan implementasi prinsipecolabel di
negara importir yang harus dicermati apakah memiliki peluang untuk menciptakan
hambatan bagi arus ekspor Indonesia untuk masuk ke negara-negara tersebut.
Keberadaan payung hukum bagi mekanisme ecolabelling di
Indonesia dalam kaitannya dengan perdagangan internasional adalah standar yang
memiliki relevansi dengan arus impor bahwa standar ini harus dipenuhi
negara-negara pelaku dagang untuk masuk ke pasar Indonesia dalam rangka
melindungi konsumen dalam negeri dan menjamin keberlangsungan lingkungan hidup.
Program Officer Forest Stewardship Council
(FSC) Indonesia, melakukan pembentukan program FSC untuk mendorong pengelolaan
hutan yang bertanggung jawab melalui ecolabel. Produk-produk berlabel itu
menandakan produksi terhadap produk itu telah menerapkan kaidah-kaidah
lingkungan yang diakui secara internasional.nSaat ini terdapat 2,7 juta hektare
hutan alam dan hutan rakyat di Indonesia yang telah memperoleh sertifikat FSC.
Jumlah itu baru sekitar 10% dari total luas hutan alam dan hutan rakyat di
Indonesia. Namun dalam sektor industri, produk hasil hutan besertifikat FSC
baru sekitar 300 industri. Yang mana lebih banyak diperoleh dari produk impor,
hutan-hutan impor. Hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan (jumlah) hutan
bersertifikat FSC di Indonesia sendiri.
Produk-produk yang telah mengantongi
sertifikat FSC, di antaranya tisu, kertas, kemasan minuman, seperti teh, susu,
dan jus, pensil warna, dan furnitur. Belum banyaknya produk industri yang
besertifikat FSC, ungkapnya, disebabkan masih kurangnya kesadaran masyarakat
untuk menerapkan prinsip-prinsip lingkungan.
Ecolabelling
Perikanan
Pada prakteknya
penangkapan ikan di Indonesia tidak terlepas dari penangkapan yang berlebihan
(overexploitated) dan penangakapan yang merusak (destructive fishing) baik
degan alat maupun bahan yang digunakan untuk menangkap ikan. Terutama pada
perikanan ikan hias, penangka-pan ikan hias cenderung merupakan penangkapan
ikan yang merusak. Terlebih bahan yang digunakan nelayan adalah bahan kimia
potasium-sianida yang dapat merusak terumbu karang. Sumatera Barat merupakan
salah satu propinsi di Indonesia yang telah mengalami kerusakan lingkungan laut
yang cukup parah akibat penggunaan sianida. Rusaknya terumbu karang yang
merupakan habitat bagi biota laut laut lainnya turut menyumbang kepunahan
beberapa spesies ikan hias. Hal ini juga hampir terjadi di beberapa propinsi di
Indonesia, seperti Bali.
Kesadaran masyarakat
internasional yang meningkat mengenai produk hasil ramah lingkungan menjadi
awal munculnya istilah ecolabelling atau pelabelan ramah lingkungan (PRL). PRL
muncul sebagai sebuah gerakan yang mendukung produksi yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan. PRL adalah label yang dicantumkan kepada produk yang telah
berhasil memenuhi kriteria ramah lingkungan yang ditetapkan oleh lembaga
sertifikasi. Sebelum PRL dibicarakan dalam ranah perikanan, PRL telah lebih
dahulu diterapkan pada hasil produk kehutanan. Keberhasilan PRL dalam sektor
hasil hutan menjadi pertimbangan dilaksanakannya PRL pada sektor perikanan.
European Council (2002)
dalam Mungkung et al. (2006) menyatakan bahwa PRL merupakan sebuah pendekatan,
digunakan secara luas dalam mengindustrialisasikan negara-negara sebagai jalan
untuk mempromosikan produk yang berkelanjutan dengan cara yang saling
melengkapi, yakni dengan meyediakan informasi bagi konsumen untuk memudahkan
mereka memilih produk yang lebih ramah lingkungan atau dengan menggunakan
“brenchmarking” untuk meningkatkan pengembangan produk. Dalam buku “Seafood
Ecolabelling: Principles and Practise”, Ward dan Phillpis (2009) menyatakan PRL
merupakan sistem yang dibentuk berdasarkan insentif dari mekanisme pasar untuk
mendorong produk yang memberitahukan bahwa diproduksi dengan memperhatikan
keberlanjutan ekologi. Merujuk kepada Gardiner dan Visnawathan (2004) PRL
memiliki tiga skema yang secara garis besar mengklasifikasikan PRL dalam tiga
kategori. Adapun kategori tersebut, antara lain:
1. skema PRL
jenis pertama atau biasa disebut self declaration. Skema ini diterapkan oleh perusahaan
berdasarkan pada standar produk yang mereka produksi sendiri. Biasanya
diinformasikan melalui media periklanan.
2. skema PRL
jenis kedua. Skema ini diterapkan oleh asosiasi industri untuk konsumen mereka.
Para anggota asosiasi ini menetapkan kriteria sertifikasi sendiri, atau
terkadang dibantu oleh ahli dari luar asosiasi mereka, seperti akademisi maupun
organisasi lingkungan
3. skema PRL jenis ketiga. Skema ini
diterapkan oleh inisiator (publik maupun swasta) yang bebas dari produsen, distributor,
maupun pedagang dari produk tersebut. Produk yang disuplai oleh organisasi atau
sumbernya disertifikasi untuk menginformasikan kepada konsumen bahwa produk ini
ramah lingkungan. Skema ini bertipe sama dengan lisensi.
Munculnya program PRL ini kemudian
menimbulkan dampak, baik dari sisi sosial dan ekonomi masyarakat nelayan dan
ekologis lingkungan (terutama laut). Per ubahan pendapatan, perubahan kondisi
tempat tinggal, ragam sumber pandapatan, serta kepemilikan alat tangkap menjadi
tolak ukur ekonomi nelayan. Sedangkan dari sisi sosial, kekuatan jejaring
sosial (networking), stratifikasi masyarakat nelayan, sebaran wilayah tangkap,
dan tingkat kepuasan kerja oleh nelayan menjadi parameternya. Sementara luas
tutupan karang dan keberanekaragaman ikan hias di laut Les menjadi alat ukur
akibat yang dihasilkan dari PRL ini. Berikut dampak ekologis yang terjadi
akibat berlangsungnya praktek PRL perikanan:
·
Tidak
diperbolehkannya perikanan tangkap yang menggunakan alat tangkap yang merusak
(destructive fishing), seperti bom ataupun zat kimia berbahaya (Sainsbury
(2010) dan Gardiner dan Visnawathan (2004)). Sehingga wilayah perairan laut
yang sebelumnya terkena dampak negatif akibat penangkapan yang menggunakan
bahan peledak dan zat berbahaya, seperti potassium-sianida, khususnya terumbu
karang, menjadi baik kembali.
·
Keterbatasan
kelimpahan ikan (stok ikan) dapat mulai dikendalikan (Sainsbury (2010) dan
Visnawathan (2004)). Penerapan pengelolaan yang tepat dan penghitungan
produktivitas ikan di perairan, permasalahan stok ikan yang mulai menipis dapat
diatasi. Indikator dalam hal ini adalah jumlah stok ikan.
·
Penangkapan ikan
yang memperhatikan keanekaragaman hayati ikan, maksudnya penangkapan dengan
mempertimbangakan kelimpahan dan keberadaannya dalam rantai makanan (Sainsbury,
2010). Ikan langka dan hampir punah tidak akan ditangkap untuk diperjualbelikan
disini. Sehingga rantai makanan ekosistem ikan di laut tidak terganggu; 4.
dengan tidak digunakannya zat-zat kimia berbahaya dalam sistem penangkapan ikan,
membuat masyarakat pesisir di sekitar pantai berkurang kemungkinan
terkontaminasi zat berbahaya.
Gagasan
untuk memasuki sistem ecolabelling bagi produk perikanan ikan laut
Indonesia merupakan tanggapan tehadap sejumlah tekanan yang mendesak untuk
kegiatan perdagangan hasil laut antar negara yang go
global, antara
lain:
(1) Meningkatnya
permintaan pasar global terhadap hasil laut, khususnya ikan dan udang eksotik
bagi makanan rasa enak;
(2) Meningkatkan
produksi bagi negara pengekspor seperti Indonesia;
(3) Mempedulikan
metode-metode penangkapan ikan yang berkelanjutan (sustainable fisheries), environmentally
friendly, ramah lingkungan dan tidak merusak anasir-anasir biota laut;
(4) Menghindari
terganggunya sumberdaya perikanan seperti terumbu karang, taman laut,
lingkungan pantai;
(5) Mempertahankan dan
meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil tangkapan dari laut;
(6) Mempertahankan dan
meningkatkan kekuatan sumberdaya perikanan sebagai basis bargaining
powerekonomi dan industri perikanan laut; dan last but not least,
(7) Mempertahankan dan
meningkatkan kekuatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat, terutama
kelompok-kelompok nelayan yang merupakan ujung tombak dari kegiatan penangkapan
yang menghasilkan produksi laut.
Ecolabelling Perindustrian
Di Indonesia,
penggolongan sampah yang sering digunakan adalah sebagai (a) sampah organik,
atau sampah basah, yang terdiri atas daun-daunan, kayu, kertas, karton, tulang,
sisa-sisa makanan ternak,sayur, buah, dan lain-lain, dan sebagai (b) sampah
anorganik, atau sampah kering yang terdiri atas kaleng, plastik, besi dan logam-logam
lainnya, gelas dan mika. Kadang kertas dimasukkan dalam kelompok ini. Sedangkan
bila dilihat dari sumbernya, sampah perkotaan yang dikelola oleh Pemerintah
Kota di Indonesia sering dikategorikan
dalam beberapa
kelompok, yaitu:
Sampah
dari rumah tinggal: merupakan sampah yang dihasilkan dari
kegiatan atau lingkungan rumah tangga atau sering disebut dengan istilah sampah
domestik. Dari kelompok sumber ini umumnya dihasilkan sampah berupa sisa
makanan, plastik, kertas, karton / dos, kain, kayu, kaca, daun, logam, dan
kadang-kadang sampah berukuran besar seperti dahan pohon. Praktis tidak
terdapat sampah yang biasa dijumpai di negara industri, seperti mebel, TV
bekas, kasur dll. Kelompok ini dapat meliputi rumah tinggal yang ditempati oleh
sebuah keluarga, atau sekelompok rumah yang berada dalam suatu kawasan
permukiman, maupun unit rumah tinggal yang berupa rumah susun. Dari rumah
tinggal juga dapat dihasilkan sampah golongan B3 (bahan berbahaya dan beracun),
seperti misalnya baterei, lampu TL, sisa obat-obatan, oli bekas, dll.
Sampah
dari daerah komersial: sumber sampah dari kelompok ini
berasal dari pertokoan, pusat perdagangan, pasar, hotel, perkantoran, dll. Dari
sumber ini umumnya dihasilkan sampah berupa kertas, plastik, kayu, kaca, logam,
dan juga sisa makanan. Khusus dari pasar tradisional, banyak dihasilkan sisa
sayur, buah, makanan yang mudah membusuk. Secara umum sampah dari sumber ini
adalah mirip dengan sampah domestik tetapi dengan komposisi yang berbeda.
Sampah
dari perkantoran / institusi: sumber sampah dari
kelompok ini meliputi perkantoran, sekolah, rumah sakit, lembaga
pemasyarakatan, dll. Dari sumber ini potensial dihasilkan sampah seperti halnya
dari daerah komersial non pasar.
Sampah
dari jalan / taman dan tempat umum: sumber sampah dari
kelompok ini dapat berupa jalan kota, taman, tempat parkir, tempat rekreasi,
saluran darinase kota, dll. Dari daerah ini umumnya dihasilkan sampah berupa
daun / dahan pohon, pasir / lumpur, sampah umum seperti plastik, kertas, dll.
Sampah
dari industri dan rumah sakit yang sejenis sampah kota:
kegiatan umum dalam lingkungan industri dan rumah sakit tetap menghasilkan
sampah sejenis sampah domestik, seperti sisa makanan, kertas, plastik, dll.
Yang perlu mendapat perhatian adalah, bagaimana agar sampah yang tidak sejenis
sampah kota tersebut tidak masuk dalam sistem pengelolaan sampah kota.
Di dalam perindustrian
khususnya kegiatan pemasaran pasti selalu dibutuhkan plastik. Mayoritas plastik
yang sering digunakan dan beredar dipasaran adalah plastik berbahan dasar
polimer yang mana bahan ini sulit untuk daur ulangnya. Untuk mendaur ulangnya
bisa memakan waktu hingga seratus tahun. Bahkan untuk mengurai Styrofoam memerlukan waktu hingga ribuan
tahun. Berbicara tentang plastik, sekarang sedang maraknya pelarangan
penggunaan kantong plastik di berbagai daerah termasuk Jambi. Hal ini
dikarenakan semakin banyaknya sampah yang dihasilkan dan juga semakin banyaknya
orang yang perduli dengan dampak yang ditimbulkan sampah plasti bagi manusia,
hewan maupun lingkungan.
Untuk penggunaan
plastik, setiap hari warga Indonesia yang jumlahnya 267 juta jiwa menggunakan
satu sedotan plastik sepanjang 20cm. Sedotan yang menjadi perintilan tersebut
menjadi masalah yang besar karena sampah yang
terakumulasi jika dibentangkan bisa mencapai 5.000 kilometer, yang mana
setara jarak dari Jakarta ke Sydney.
Publikasi di jurnal
sains mengungkapkan bahwa tahun 2010 saja, dunia menghasilkan plastik sebanyak
12 juta ton. Indonesia tercatat sebagai negara kedua penghasil sampah terbanyak
setelah China 1,8 juta ton permenit. Berdasarkan catatan KLHK, penggunaan
kantong plastik di Indonesia lebih dari satu juta permenit. Bahkan setiap tahun
produksi kantong plastik bisa menghabiskan sekitar 8% produksi minyak dunia
atau 12 juta barrel minyak dan 14 juta pohon. Selain itu menurut Data Asosiasi
Peritel Indonesia (Aprindo) ada 32.000 gerai yang menghasilkan 9,6 juta kantong
plastik perhari atau 21,024 hektar per tahun dan ini belum termasuk sampah
plastik yang dihasilkan Pasar Tradisional. Untuk jumlah sampah Indonesia
pertahun berdasarkan
data yang diperoleh dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan
Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton/
tahun dimana sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke
laut.
Plastik merupakan
barang umum yang sangat mudah kita temukan dan pastinya sangat kita butuhkan
sehari-hari. Untuk mengurangi polusi sampah plastik ada dua cara yaitu dengan
mengurangi penggunaan produk berbahan plastik polimer atau beralih dengan
menggunakan tote bag atau plastik
ramah lingkungan. Plastik ramah lingkungan yang dimaksud terbuat dari pati
jagung atau pati singkong. Produk ini bisa didapatkan di Indonesia karena
produksinya ada di dalam negeri dan diproduksi anak negeri. Perusahaan tersebut
bernama AVANI.
Avani
Eco merupakan perusahan Indonesia yang berbasis pada Bio-degradable plastic yang dapat mencair ketika terkena air.
Dibangun pada 2014 oleh Kevin Kumala, Avani Eco dibuat untuk menggantikan
kantong plastik konvensional dan sebagai solusi untuk memerangi epidemi
pencemaren plastik global. Keunggulan dari Avani Eco sendiri adalah letak dari
sumber daya yang digunakan untuk produksi plastik tersebut, pati jagung dan
pati singkong, di Indonesia singkong dan jagung adalah salah satu bahan pangan
yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia, hal ini membantu Avani Eco untuk
menguasai sumber daya tersebut.
Produk
dari Avani Eco antara lain adalah:
·
Soluble plastic bag
·
Paper cup & bowl
·
Cutlery
·
Straw
·
Poncho
·
Box
·
Cup and Straw
Semua
produk tersebut terbuat dari bahan bio-degradable.
Yang dapat melebur ketika dicampur dengan air atau dengan tanah, selain itu
dapat digunakan untuk menjadi kompos dan pakan ternak.
Pada tahun 2015, pemerintahan China berusaha untuk
mengurangi penggunaan sampah plastik pada rakyat nya, dengan begitu mereka
akhirnya melarang penggunaan kantong plastik. Dengan adanya pelarangan tersebut
terjadi peningkatan pada permintaan kantong plastik di China. Pada tahun 2017
permintaan pada polyethylene di Asia
adalah 41.5 juta ton. Sementara itu di Asia Tenggara, Philippines merupakan
negara kedua setelah Indonesia (ironisnya) yang membuang sampah plastik kedalam
sungai dan laut (menurut data yang dipublikasikan pada tahun 2010). Dengan data
yang telah di peroleh, prospek pasar Avani Eco, merupakan produk yang bagus
untuk memberantas pembuangan dan penggunaan kantong plastik.
Dengan naiknya permintaan kantong plastik di negara China
maka Avani Eco dapat menjadi subtitusi yang bagus. Sementara itu di
Philippines, Avani Eco dapat bekerja sama dengan pemerintah untuk mengurangi
penggunaan plastik polyethylene, dan
menggantikan nya dengan produk Avani Eco. dikarenakan produk Avani Eco yang
dapat mencair ketika “dibuang” ke dalam air sehingga meninggalkan jejak dan
tidak membahayakan makhluk lainnya.
Dari
analisa makro dan mikro terhadap kedua negara tersebut, China merupakan salah
satu pasar yang memiliki potensi yang bagus untuk dijadikan salah satu target
pasar, terutama dengan adanya regulasi baru dari pemerintahan China yang
bertujuan untuk mengurangi penggunaaan plastik di China. Berbeda dengan
kesadaran Philippines yang masih kecil mengenai penggunaan plastik. Dengan daya
beli masyarakat China yang besar, ditambah dengan penggunaan plastik yang
melebihi daya beli tersebut maka dapat disimpulkan bawa hal tersebut merupakan
salah satu faktor pendongkrak yang besar. Pada tahun 2015, China telah menjadi
salah satu peluang besar bagi banyak pangsa pasar lain, sehingga banyak
perusahaan luar tidak lagi melihat China sebagai negara ke-3 (third country)
atau sebagai negara offshore, tapi
sebagai peluang bagis bisnis mereka hal, banyak diantara perusahaan tersebut
juga berusaha mengurangi penggunaan kantong plastik pada toko retail mereka di
dunia, seperti contohnya lóreal yang menggunakan produk dari Avani.
DAFTAR PUSTAKA
Muswar
S H dan Satria A. 2011. Dampak Pelabelan Ramah Lingkungan (Ecolabelling) Perikanan
Bagi Nelayan Ikan Hias. Jurnal Transdisiplin Sosiologi. 5(3):274-278.
Sulistiyorini
R N, Darwis S R, dan Gutama S A. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam
Pengelolaan Sampah Di Lingkungan Margaluyu Keluaran Cicurug. Jurnal Share
Social Work. 5(1):72-73.
Novela
S. 2018. Analisa Entry Mode Decision untuk Avani Eco.
http://bbs.binus.ac.id/ibm/2018/05/analisa-entry-mode-decision-untuk-avani-eco/.
Damanhuri
E dan Padmi T. 2010. Pengelolaan Sampah. http://www.kuliah.ftsl.itb.ac.id/wp-content/uploads/2010/09/diktatsampah-2010-bag-1-3.pdf.